TUGAS 3 - HASIL REVIEW

Nama : Nelisa Faradiba

NIM : 2311061028

Prodi : Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini


BAB 3
MANUSIA MAHLUK IBADAT


3.1 Makhluk Allah Yang Di Ciptakan Untuk Beribadat 


Allah berfirman : 


وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ


“Tidak Aku jadikan jin dan manusia melainkan supaya beribadat kepadaKU”

(Q.S. Adz-Dzaariyaat, 51: 56).


Allah menyebutkan hanya jin dan manusia lah makhluk yang wajib beribadat. Makhluk ciptaan Allah yang lain sudah Allah ciptakan dalam kondisi tertentu yang tidak mungkin berubah. 


Manusia adalah ciptaan Allah yang memiliki bentuk sempurna. Sejak awal sang pencipta telah di siapkan untuk memikul beban tugas amanat Allah yang di tolak oleh langit, gunung dan bumi. 


  Mahluk lain, mislanya jenis malaikat, iblis, binatang, tumbuhan, dan alam secara luas, berada pada posisi mahluk yang tidak pernah berubah, tidak mampu mengubah dirinya. Allah tidak memberi kesempatan kepada mahluk selain manusia dan jin untuk memiliki kemampuan mengubah kondisi dirinya. Malaikat sejak awal penciptaan oleh Allah tetap berada pada posisi mahluk penurut, selalu taat kepada Allah, sebagai pengabdi kepada Allah yang tiada menyimpang. Semua perintah Allah dijalankan oleh malaikat secara istiqamah.


  Kesombongan Iblis adalah salah satu penyebab mengapa Iblis membangkang kepada perintah Allah. Kesombongan yang dimiliki Iblis, tentu, adalah berdasarkan rancangan pasti dari Allah. Allah menetapkan satu kondisi keseimbangan yang menyertai ketaatan. Ketaatan ditetapkan menjadi milik mutlak para malaikat, sementara penyeimbangnya berupa ketidaktaatan, pembangkangan, ditetapkan menjadi milik para Iblis. Keduanya, nanti, akan menyertai kondisi yang telah dianugerahkan kepada manusia (khususnya) dan jin, yaitu sisi taqwa dan sisi fujur


  Tetapi, dalam penetapan itu, Allah tetap memberi pertanyaan kepada Iblis untuk menjelaskan sikap pembangkangannya. Dan, kondisi Iblis tidak akan berubah hingga hari Qiyamat datang. Hal itu juga menjadi keridhoan Allah atas kondisi Iblis.


  Selain malaikat dan Iblis, mahluk Allah yang lain yaitu tumbuhan dan binatang, dalam kondisi apa pun, memiliki pola kehidupan yang cederung tetap, tidak mampu mengubah dirinya. Jika sebiji bibit ditanam, tunas akan tumbuh ke arah atas, ke arah cahaya matahari. Begitu pun ketika tunas tumbuhan itu dibalikkan membelakangi arah matahari, arah tunas akan berubah mengikuti cahaya matahari.


3.2 Konsep Ibadat Dalam Islam


  Ibadah berarti komitmen untuk mengikuti teladan dan mengembangkan teladan. Model ini diatur sedemikian rupa sehingga semua perintah dapat dengan mudah dieksekusi oleh semua pelaksana. Pola ibadah merupakan anugerah dari Tuhan yang berupa ikatan yang tidak dapat diubah dalam setiap ibadah mahdhah, ibadah yang telah ditentukan bentuk, tempat, cara, perhitungan, dan sanksi pelaksanaannya.


  Model ibadah, baik berupa petunjuk maupun tuntutan kepada Allah,  dikemas dalam bentuk kitab (yang memuat shuhuf-shuhuf). Peran Shuhuf adalah sebagai pembimbing yang mendampingi para nabi dalam menjalankan tugasnya. Dan kitab-kitab yang diturunkan Allah kemudian  selalu menegaskan isi kitab-kitab sebelumnya. Kelangsungan pemerintahan Tuhan sepertinya selalu terjaga


  Selain kitab, perbedaan antara kenyataan dan kepalsuan yang  Allah berikan kepada para nabi adalah kekuatan manusia biasa yang berupa kekuatan yang lebih tinggi yaitu mukjizat. Bisa berupa  bukti nyata, sensual, nyata yang menggambarkan kekuasaan  para rasul Allah, yang menjadi bukti nyata bagi manusia akan keberadaan Tuhan.


  Bagian dari ibadat imani, seperti yang telah ada dalam pola Rukun Iman (mengimani tentang keberadaan Allah Swt, keberadaan malaikat Allah, kitab-kitab Allah, rasul-rasul Allah, keberadaan hari Qiyamat, dan keberadaan qadha serta qadar Allah), juga mengimani keberadaan mukjizat-mukjizat yang telah diberikan oleh Allah keada para Nabi. Hal lain yang ghaib, seperti keberadaan iblis, surga, neraka, pahala, siksa, dan yang tak terindera lainnya, menjadi kewajiban imani bagi semua manusia. Ibadat vertikal termaktub dalam pola aturan Rukun Islam. Ia terdiri atas ikrar dua kalimat syahadat, shalat, shaum, zakat, dan hajji. Ibadat amaliyah adalah juga menjadi tuntutan Allah kepada manusia, yaitu ibadat mu’amalat (horizontal antarmanusia) dan ibadat horizontal lainnya berupa perilaku manusia terhadap alam


3.3 Konsep Three-in-One (Iman-Ilmu-Amal)


  Petunjuk Dinul Islam sangat lengkap. SoP segala bentuk ibadah (mahdhah dan ghair mahdhah) telah  Allah sediakan dalam Al-Quran dan Hadits Nabi SAW sebagai pedoman pelaksanaannya. Tatanan perilaku yang tertinggi, baik yang berkaitan dengan  perjanjian iman dengan Allah SWT, hingga urusan  manusia sehari-hari yang  jarang mendapat perhatian, seperti urusan peturaza, semuanya sudah siap dan hanya tinggal dipenuhi. Seseorang yang mengaku muslim  harus dapat memenuhi tuntutannya sebagai muslim dengan tiga cara: iman, ilmu, dan cinta. Pengakuan saja tidak cukup. Misalnya seseorang mengaku masuk Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat. Syahadat merupakan pengakuan  yang pertama, setelah itu harus diserahkan pembuktian isi pengakuannya. Seseorang yang mau berserah diri hanya kepada Allah dan meyakini bahwa Muhammad adalah nabi yang risalahnya harus ditaati, harus menunjukkan ketaatannya melalui tindakan dan perbuatan. Pengetahuan diperlukan untuk melaksanakan amal (tersedia bahan kajian lengkap dan petunjuk pelaksanaan). Tanpa ilmu, ibadah tidak dapat terlaksana dengan sempurna.  Iman selalu dikaitkan dengan tindakan yang benar. Demikianlah Allah membentuk kesatuan iman dengan amal shaleh. Allah selalu menyerukan untuk memberi pahala kepada orang-orang yang beriman dan beramal shaleh.


  Semua manusia hanya diberi waktu yang sangat terbatas. Keterbatasan waktu itu bisa menimbulkan kerugian bagi siapapun, kecuali orang yang

   

beriman dan beramal shalih, yang bisa memanfaatkan waktu untuk melaksanakan secara lengkap iman dan amal --saling mengingatkan dalam kebenaran dan keshabaran. Kembali, iman dan amal shalih secara terus-menerus diulang oleh Allah agar manusia bisa menyadari kesatupaduan iman dengan amal shalih. Oleh karena itu, kemuliaan manusia terletak pada keimanan dan amalnya.


3.4 Ibadat Mahdhah


  Ada dua kategori ibadah dalam Dinuli Islam. Pujian dilakukan dengan pedoman yang ketat (semacam standar plus) dan ibadah diatur hanya secara substansi, yang pelaksanaannya dikaitkan dengan kondisi  dan waktu lingkungan. Namun waktu tidak dapat mengatur bentuk dan hakikat ibadah ini. Waktu hanyalah suatu kondisi yang mengandaikan atau mendorong adanya tafsir dan ijtihad. Salah satu contoh bentuk ijtihad materil adalah ketika seorang muslim harus menunaikan shalat puasa di lingkungan alam yang  waktu siang atau malamnya lebih pendek atau lebih lama, berbeda dengan perhitungan  siang dan malam di tempat biasa. Shaum, seperti halnya shalat, erat kaitannya dengan kondisi waktu yang ditandai dengan hadirnya matahari sebagai tanda pergantian waktu. Konsep grip dipinjam hanya  untuk menunjukkan keadaan aturan yang mengikat dan membentuk pola tindakan, namun karena grip adalah buatan manusia, maka grip dapat diubah kapan saja. Sementara itu, grip plus merupakan aturan baku atau baku yang tidak bisa diubah sesuai keinginan masyarakat. 


  Konsep grip dipinjam hanya  untuk menunjukkan keadaan aturan yang mengikat dan membentuk pola tindakan, namun karena grip adalah buatan manusia, maka grip dapat diubah kapan saja. Sementara itu, grip plus merupakan aturan baku atau baku yang tidak bisa diubah sesuai keinginan masyarakat. Dari zaman Nabi  hingga sepanjang masa, ibadah yang dikaitkan dengan surplus konvensional, yaitu ibadah mahdhah, tetap dalam pola yang sama, dengan kaidah yang sama persis dengan pola amalannya.


  1. Syahadatain


Standar ibadah mahdhah plus bersifat wajib dari segi waktu, jumlah, tempat, cara dan aturan (SoP, Standar Operasional Prosedur) yang sangat wajib untuk jenis ibadah mahdhah ini. Idadat ini terdiri dari ibadah yang paling penting dan sangat mendasar yang disusun dalam rukun  Islam. Menjadikan Syahadat sebagai ibadah yang ikrarya tidak dapat diubah. Model janji tetap harus  diikuti tanpa interpretasi atau negosiasi. Janji ibadah ini harus mendasari seluruh perilaku umat Islam dalam menunaikan kewajiban kemanusiaannya sebagai makhluk ibadah. Artinya, cukup berserah diri kepada Allah, mengikuti aturan (perintah dan larangan) Allah dan mengikuti teladan Nabiyullah Muhammad: “Asyhadu an laa ilaaha illa-Allah, wa asyhadu anaa Muhammadan Rasuulullah” Pengakuan dosa adalah ibadah mahdhah yang pertama. semua perintah mengesakan Allah, dengan perintah ‘hanya menyembah satu-satunya ilah, yaitu Allah’ menjadi kunci awal bagi seseorang yang menyatakan dirinya sebagai muslim, sebagai manusia yang berserah diri. Penyerahan diri (islam) adalah siap mengikuti segala perintah Allah dan siap menjauhi segala laranganNya. Pernyataan ikrar tentang pengesaan Allah sebagai satu-satunya tuhan yang wajib disembah, harus dilengkapi pernyataan juga tentang keberadaan rasulNya yang terakhir, Muhammad saw.


  1. Ibadat Sholat


Ibadat mahdhah yang kedua adalah shalat. Shalat terdiri atas shalat fardhu dan shalat sunnat. Shalat fardhu dan shalat sunnat memiliki kesamaan cara dan isi do’anya, tetapi jumlah rakaat dan waktu dalam shalat fardhu telah ditetapkan secara pasti, tak bisa diubah (kecuali dalam kondisi tertentu, kondisi rukhshah yang telah ditetap oleh Allah melalui uswah Rasulullah). Shalat wajib yang terdiri atas lima waktu shalat tertentu dengan jumlah rakaat yang tertentu, adalah shalat yang sangat diikat --terutama-- oleh ketetapan waktu. Jumlah hitungan raka’at shalat pun telah ditetapkan secara ketat: Zhuhur (4 raka’at), ‘Ashar (4 raka’at), Maghrib (3 raka’at), ‘Isya (4 raka’at), dan Shubuh (2 raka’at). Waktu, jumlah raka’at, dan cara melaksanakan shalat fardhu ditetapkan sebagaimana sabda Nabi yang mengikat pelaksanaan shalat wajib 5 waktu dengan sabdanya: “Shalatlah sebagaimana aku melaksanakan shalat”. Artinya, pakem plus yang meletak dalam shalat wajib adalah perilaku shalat Nabi saw. Sejumlah shalat sunnat secara khusus diatur juga secara ketat, yaitu shalat-shalat sunnat rawatib dan shalat nafilah, sementara shalat sunnat lainnya bisa dilakukan dengan kondisi aturan yang lebih bebas waktu.


Sholat, lebih khusus lagi sholat fardhu, merupakan salah satu bentuk ibadah yang sangat terikat pada norma plus. Standar shalatnya adalah teladan Nabiyullah Muhammad yang kemudian menyebar melalui teladan para sahabat Nabi. Saat ini, kegiatan shalat yang tidak baku banyak dilakukan oleh orang-orang yang memaknai kegiatan shalat secara menyimpang. Tentu saja kegiatan tersebut menimbulkan perbedaan pendapat yang berujung pada konflik sektarian, dan yang lebih parah lagi menjadi ajang konflik antar umat. Ketika shalat dilakukan sesuai dengan standar shalat yang dicontohkan Nabiyullah, maka perbedaan pemahaman tersebut akan menemukan jalannya. Perbedaan pemahaman ummat ini termasuk permintaan Nabi yang tidak diterima oleh Allah. Allah tidak menerima doa Nabi agar ummatnya berada dalam keadaan “aman” tanpa perselisihan. Namun Allah menjadikan perbedaan ini sebagai  ujian bagi manusia. Dalam keterangan lainnya, umat Islam terbagi menjadi 73 firqah.


Beberapa firqah yang populer, disebutkan dalam sejumlah sumber:


  1) Aliran Syiah adalah Aliran yang mendukung Ali bin Abi Tholib dan ahli bait nya sebagai pemimpin yang sah.


2) Aliran Khowarij adalah aliran yang keluar dari barisan Ali bin Abi Tholib karena

 mereka tidak puas dengan tahkim yang dilakukan Ali. Mereka berpendapat bahwa Ali telah melakukan dosa besar.


3) Aliran Murji’ah adalah golongan atau aliran yang berpendapat bahwa konsekuensi hukum dari perbuatan manusia bergantung pada Allah swt. Aliran ini berpendapat Iman adalah cukup dengan mengakui dan percaya kepada Allah dan rasul-Nya saja.


4) Aliran Qodariyah adalah aliran yang berpendapat bahwa manusia mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.


5) Aliran Jabariyah adalah aliran yang berpendapat bahwa segala perbuatan manusia

telah ditentukan dari semula oleh Qadha dan Qadar Allah. Jadi manusia tidak punya wewenang dan kehendak untuk berbuat sendiri, mereka percaya bahwa semua tingkah lakunya telah ditentukan Allah


  Selain kewajiban shalat yang sangat wajib, Allah telah memberikan aturan yang dapat digunakan manusia dalam kondisi tertentu. Ada semacam “penyederhanaan” dalam menunaikan shalat wajib yang disebut “rukhshah”. Rukhshah ini mengacu pada keadaan tertentu yang menyebabkan kesulitan sementara pada seseorang. Musafir (kondisi di jalan), penyakit, suasana ketakutan akibat perang adalah contoh keadaan yang dapat dikaitkan dengan lantunan bacaan shalat fardhu dalam bentuk rukhshah. Beberapa ulama mengatakan bahwa rukhshah ini merupakan berkah dari Allah agar umat Islam tetap bisa menunaikan shalat wajib mahdhah dalam situasi apapun. Rukhshah mewajibkan seseorang menunaikan shalat wajib pada waktu tertentu, jumlah rakaatnya dan dengan tata cara  yang berbeda dengan  shalat wajib pada waktu biasanya.


  Dalam kondisi rukhshah, Nabi saw juga mengajarkan pelaksanaan ibadat shalat fardhu

dengan cara jama’. Pengertian istilah jama’ adalah menggabung dua waktu shalat dalam

waktu shalat yang terdahulu atau terakhir, dengan persyaratan kondisi musafir. Dalam ketentuan, shalat-shalat fardhu yang bisa digabung adalah Zhuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan Isya. Shalat fardhu Shubuh ditetapkan tidak bisa digabung dengan pelaksanaan shalat yang lain. Shalat fardhu adalah kewajiban yang “melekat” pada semua orang yang mengaku muslim. Shalat fardhu tidak bisa ditinggalkan (kecuali untuk muslimah yang sedang berhalangan: haidh atau nifas). Kewajiban shalat (fadhu) melekat dalam perilaku ibadat seorang muslim/muslimat terkait dengan posisi ibadat shalat sebagai ibadat mahdhah yang utama setelah syahadatain. Bahkan, ibadat shalat fardhu ini menjadi amal yang diperhitungkan paling awal sebagai payung dari pelaksanaan ibadat lainnya.


  Rasulullah telah mencontohkan bagaimana pelaksanaan shalat ketika seseorang sedang dalam perjalanan (berkendaraan), dalam kondisi khauf (darurat ketakuan), dan dalam kondisi-kondisi tertentu seperti sakit. Shalat bisa dilakukan di atas kendaraan. Arah kiblat shalat dalam kendaraan adalah arah lajunya kendaraan. Jika seseorang sedang sakit yang tidak memungkinkan pelaksanaan shalat secara normal, maka Nabiyullah mengajarkan kepada ummatnya untuk melaksanakan shalat dengan cara duduk, berbaring, atau berisyarat. Tingkatan perbuatan tersebut disesuaikan dengan kondisi yang sejalan dengan kemungkinan pelaksanaannya. Jika tidak bisa berdiri, maka bisa duduk, berbaring, dan berisyarat. Hal itu menunjukkan bahwa ibadat shalat melekat kewajibannya kepada diri muslim dan muslimat, sekalipun sedang sakit parah. Bahkan ketika seseorang sakit sangat parah sehingga tidak bisa melaksanakan shalat sendiri, maka para penunggu si sakit punya tugas untuk membimbing si sakit untuk melaksanakan shalat.


  Yang bisa meninggalkan shalat wajib hanyalah muslimah yang sedang berhalangan (haidh dan nifas), anak-anak yang belum baligh, dan orang yang hilang akal. Tidak ada qadha shalat, kecuali dalam kondisi lupa atau tertidur (misalnya) sebelum datang waktu shalat. Ketika ingat, ketika terbangun dari tidur, yang bersangkutan harus segera melaksanakan shalat yang tertinggal. Seseorang yang tertidur sebelum datang waktu shalat, misalnya sebelum datang shalat Zhuhur, kemudian dia terbangun pada waktu Ashar, dia harus melaksanakan shalat Zhuhur sebelum melaksanakan shalat Ashar. Intinya, shalat yang tertinggal harus dilaksanakan pada saat seseorang yang “lupa” mulai ingat lagi. Tetapi, jika sengaja tidur setelah waktu shalat datang.


  Ketentuan-ketentuan tadi menunjukkan bahwa shalat fardhu adalah ibadat yang harus didirikan oleh manusia muslim dalam kondisi apapun. Tak ada alasan untuk meninggalkan shalat fardhu karena Allah telah menyiapkan banyak rukhshah sejalan dengan kondisi kompatibilitas manusia dengan beragam tugas ibadat yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.


  Beberapa jenis shalat sunnat lainnya yang disebutkan sebagai shalat sunnat muakkad oleh para jumhur ulama, seperti dalam kutipan berikut:

“Shalat Hari Raya, adalah shalat Idul Fitri pada 1 Syawal dan Idul Adha pada 10 Dzulhijah.


  Shalat sunnat ghair muakkad adalah shalat sunnat yang pelaksanaannya tidak diharuskan melalui contoh utama dari Nabi saw. Shalat sunnah ghair muakkad, dalam banyak keterangan: Dua raka’at sebelum shalat ‘Ashar, Maghrib, dan ‘Isya’. Beberapa shalat sunnat dimaksud pernah dilakukan oleh Nabi, tetapi Nabi tidak melanjukan hal tersebut menjadi kegiatan yang dawam (terus-menerus). Bahkan Nabi menyerahkan pilihan melaksanakan shalat tersebut kepada umat dengan pernyataan: “Bagi siapa yang menghendaki”


Sejumlah shalat sunnat lainnya yang umum dilakukan oleh ummat Islam berdasarkan contoh yang pernah diakukan oleh Nabiyullah saw adalah:


  • Shalat Sunnat Syukrul Wudhu dan Tahiyyatul Masjid
  • Shalat Sunnat Dhuha
  • Shalat Sunnat Tahajjud dan Witir


  • Shalat Tarawih



  1. Zakat, Shaum, dan Haji


1). Zakat hanya akan berlaku kewajibannya terkait dengn sejumlah kondisi. Zakat dilengkapi persyaratan kondisi memiliki harta (hak penuh), nishab, dan cukup haul. Seseorang yang telah dianugerahi titipan harta dengan jumlah tertentu yang mencukupi syarat wajib zakat, maka yang bersangkutan, setelah satu tahun, harus mengeluarkan sebagian hartanya dalam bentuk zakat: a) emas, perak, uang baik berbentuk uang logam maupun uang kertas; b) barang tambang dan barang temuan; c) barang dagangan; d) hasil tanaman dan buah-buahan; dan e) binatang ternak yang merumput sendiri (jumhur ulama) atau binatang yang diberi makan oleh pemiliknya (Mazhab Maliki). Di samping harta dimaksud yaitu harta bergerak yang setiap waktu bertambah dan berkurang, dalam sejumlah keterangan, termasuk harta hasil kerja profesi.


2). Shaum atau di lingkungan masyarakat Indonesia lebih populer dengan istilah puasa (wajib) adalah ibadat mahdhah yang terkait ketat dengan waktu. Shaum wajib hanya disyariatkan pada bulan Ramadhan, sepanjang bulan Ramadhan yang diakhiri dengan hari raya Idul Fitri. Rangkaian kegiatannya meliputi kewjiban menahan diri dari dua syahwat: perut dan bawah perut (kemaluan), sejak terbit fajar (datangnya waktu Shubuh) hingga terbenam matahari (tibanya waktu Maghrib). Sejumlah aktivitas fisik (perilaku) maupun psikis (batin) yang juga bisa mengurangi nilai shaum bahkan “membatalkan nilai shaum” adalah perilaku menahan diri (perbuatan, sikap, rasa, angan-angan, niat, pendapat, komentar, bahkan nasihat) yang bisa mendatangkan ketidaknyamanan pribadi apalagi orang lain, secara syar’i.


3). Haji adalah ibadat wajib yang kewajibannya bersyarat. Artinya, kewajiban awal hajji adalah kepada semua muslim, tetapi ketika muslim tersebut belum memiliki kemampuan untuk melaksanakannya, maka kewajiban hajji sementara bisa ditangguhkan. Bahkan, bagi muslim tertentu yang belum diberi kemampuan untuk berhajji, kewajiban tersebut terus akan ditangguhkan hingga muslim tersebut mampu. Disebutkan bahwa ibadat hajji adalah ibadat yang tergolong berat. Sisi berat yang dimaksud adalah menyangkut kemampuan tertentu. Yang dimaksud dengan kemampuan melaksanakan hajji terkait dengan kemampuan fisik (mampu melaksanakan perjalanan jauh dan melaksanakan sejumlah kegiatan rukun hajji yang memerlukan kekuatan fisik), kemampuan finansial, bahkan kemampuan yang terkait dengan keamanan baik di perjalanan maupun di tempat tujuan.


3.5 Ibadat Shalat sebagai Lokomotif


  Ibadah kepada Mahdhah mengacu pada aturan yang telah ditentukan. Misalnya saja Perjanjian Syahadatin. Meskipun pada awalnya hanya diperbolehkan ketika seseorang mengaku bersedia menaati aturan Allah SWT dan mengikuti Uswah Hasanah Nabi SAW, namun akad menjadi landasan utama kesediaan menaati Allah SWT yang tidak bisa digantikan dengan aturan lain. . Sholat fardhu juga berkaitan dengan kaidah waktu, tempat, cara pelaksanaan dan jumlah satuan fungsional. 


  Setiap shalat fardhu harus dilaksanakan pada rentang waktunya yang telah ditentukan, begitupun jumlah rakaatnya untuk setiap shalat tetap ditetapkan. Artinya, jika shalat fardhu menyalahi ketentuan-ketentuan dasar tadi, shalatnya menjadi tidak sah.


  Dalam beribadah Mahdhah, seseorang tidak membutuhkan perantara ketika  menghadap  Allah SWT. Allah SWT dapat dihubungi tanpa batasan ruang dan waktu. Akses kepada Allah SWT terbuka bagi semua orang tanpa kecuali. Oleh karena itu, ibadah mahdhah adalah ibadah langsung. Manusia “bertumbuh lurus” dengan Allah SWT, khususnya ketika berdoa. Allah SWT memberi waktu untuk menerima doa manusia kapan saja. Dan bahkan Allah SWT menyediakan waktu-waktu khusus untuk menerima, menyapa dan menyambung doa-doa orang di waktu-waktu khusus, waktu-waktu pengabulan doa. Tidak ada alasan mengapa Allah SWT jauh dari hamba-Nya. Allah SWT senantiasa dekat dengan hamba-hamba-Nya sebagaimana urat  leher kepada pemiliknya.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

AYAT - AYAT AL-QUR'AN YANG BERHUBUNGAN DENGAN PROFESI YANG DITEMPUH

TUGAS - 9 HASIL REVIEW